Gemlong, Tangan Kecil, dan Sebuah Pelajaran
.png)
Hari ini Kamis. Salah satu dari dua hari pasaran dalam seminggu. Saya pergi ke pasar tradisional, seperti kebiasaan lama yang tak ingin saya lepaskan. Tujuan utamanya sederhana: membeli jajanan kesukaan sejak kecil: klepon, cetil, dan terutama gemlong.
Gemlong itu unik. Kenyal, manis, gurih dari parutan kelapa. Setiap gigitan selalu membawa sensasi berbeda. Mungkin bukan cuma soal rasa, tapi juga soal kenangan masa kecil yang ikut tergigit pelan-pelan.
Pasar tradisional punya cara sendiri untuk membuat kita mengingat masa kecil. Ada aroma khas, suara yang tak tergantikan, dan jajanan yang seperti membawa pulang kenangan. Di antara semua itu, gemlong, kenyal, manis, gurih, selalu jadi yang paling saya cari. Tapi hari ini, lebih dari sekadar gemlong yang saya dapat.
Tangan Kecil yang Belajar Memberi
Saat masuk pasar, kami bertemu seorang pengemis. Disabilitas, laki-laki, tidak terlalu tua. Anak saya yang kedua menggenggam uang receh, saya arahkan padanya, "Yuk, kasih ke Bapak itu." Dia melangkah, ragu tapi akhirnya tersenyum kecil saat uang itu berpindah tangan. Momen itu singkat, tapi saya tahu, ada yang tertanam di sana. Bukan hanya tentang memberi, tapi tentang belajar peka pada sesama.
Gemlong dan Nilai yang Menyatu
Di tangan kami ada plastik kecil berisi klepon, cetil, dan tentu saja, gemlong. Sambil berjalan pulang, kami membicarakan sesuatu yang lebih dari rasa manis di mulut. Tentang tangan di atas yang lebih baik daripada tangan di bawah. Tentang hidup yang sebaiknya tidak selalu memandang ke atas, karena bisa saja yang terlihat hanyalah keinginan yang tak habis-habis. Tapi lihat ke bawah, di situ syukur lebih mudah tumbuh.
Pasar, Anak-anak, dan Pelajaran Diam-diam
Pasar hari ini bukan hanya tempat belanja. Ia jadi ruang belajar. Bagi saya, untuk tidak lupa bersyukur. Bagi anak saya, untuk mengenal kebaikan kecil yang tulus. Di tengah ramainya pedagang dan pembeli, di tengah suara tawar-menawar dan aroma bumbu dapur, pelajaran hidup datang pelan-pelan. Sederhana tapi mengendap.
Dan gemlong itu, tak hanya menyisakan rasa legit di lidah. Tapi juga jejak kecil di hati. Seperti tawa anak-anak yang tak memikirkan beban, seperti tangan kecil yang hari ini belajar memberi tanpa pamrih.