Kadang kita berpikir bahwa "ingin" itu adalah tanda kita hidup. Tapi bagaimana jika ternyata terlalu banyak ingin justru menjauhkan kita dari kehidupan yang sesungguhnya?
Dalam
seri jejak kecil ini, kita diajak menelisik sisi lain dari keinginan, bukan sebagai motivasi, melainkan sebagai gangguan halus yang menyamar. Sebuah perjalanan singkat namun mendalam, tentang mengenali batas, menerima diam, dan menemukan cukup di antara segala yang ingin dimiliki.
Saat Keinginan Menjadi Gangguan
Keinginan itu seperti angin, bisa menyegarkan, tapi juga mampu meniup semua ketenangan yang sedang kita tata perlahan.
Manusia memang makhluk penuh hasrat. Namun, ada saat di mana keinginan tak lagi menjadi dorongan hidup,
melainkan jadi beban yang terus-menerus menuntut ruang, perhatian, bahkan napas.
Ia datang diam-diam. Seperti
notifikasi kecil yang tak kunjung berhenti.
Mengusik keheningan batin yang sebenarnya sedang baik-baik saja.
Ketika "Ingin" Tak Lagi Menumbuhkan
Awalnya
keinginan hadir sebagai motivasi.
Tapi ketika tak terkendali, ia bisa berubah jadi
tekanan yang tak terlihat bentuknya.
Kita merasa dikejar. Harus ini, harus itu. Padahal belum tentu semua
"harus" itu benar-benar perlu.
Ada jeda yang terabaikan. Ada diam yang terlalu sering dibunuh oleh ambisi.
Hingga tanpa sadar, kita mulai lelah, tapi tetap tak bisa berhenti.
Ingin terus, tanpa tahu lagi mengapa harus.
Mengejar Tanpa Menyadari Jarak
Ada
keinginan yang baik, dan ada yang
berlebihan.
Yang satu menumbuhkan, yang lain mengikis perlahan.
Sayangnya, kita sering kali baru menyadari itu setelah jatuh, setelah kehilangan arah,
setelah terbangun dari mimpi yang terlalu tinggi.
Tidak semua keinginan bisa atau harus diwujudkan.
Ada jarak, ada batas, ada kenyataan.
Dan justru di situlah tempat kesadaran seharusnya tinggal:
di antara
keikhlasan menerima dan
keberanian melepaskan.
Belajar Diam di Tengah Kebisingan "Ingin"
Jika terus-menerus dikejar oleh ingin yang tak selesai,
maka kita sedang
berjalan dalam lingkaran, bukan menuju tujuan.
Keheningan itu penting. Tidak semua harus dikejar. Tidak semua harus dimiliki.
Kadang yang kita butuhkan hanyalah duduk, melihat, dan membiarkan waktu menjawab.
Karena sering kali,
"ingin" itu muncul bukan karena kita membutuhkannya,
tapi karena kita terbiasa merasa kurang.
Apa Sebabnya Kita Terlalu Ingin?
Mungkin karena lupa caranya
bersyukur.
Atau terlalu sering membandingkan, hingga lupa
mencintai hidup yang sebenarnya cukup.
Mungkin juga karena
takut kehilangan,
padahal yang
sejati tidak pernah benar-benar pergi.
Jika ingin
berhenti dikuasai oleh keinginan,
maka perlu diam sejenak dan bertanya:
“Apa yang sebenarnya aku butuhkan? Dan apa yang hanya aku kejar karena orang lain?”
Pertanyaan itu bisa jadi pintu pulang, sebelum semua menjadi terlalu berat untuk ditanggung.