Rasa dipersimpangan Jalan | Mantra dan Anugrah

Table of Contents

Cinta, Mantra, dan Getaran Semesta

Tadi siang,  saya lagi ngobrol sama tiga teman.,  sambil makan siang.  (Hmm, sebenernya sih ini kejadian langka, karena saya jarang gtu). Biasa, kalau udah kumpul, obrolan bisa ke mana-mana. Tiba-tiba, topik pembicaraan mereka mengarah ke masalah salah satu teman kita yang lain. Katanya, pasangannya lagi "berpaling rasa" dan terlihat tidak wajar. Nah, si teman ini, saking bingungnya, sampai pergi ke paranormal atau dukun untuk minta tolong. Tujuannya cuma satu, mengembalikan rasa cinta pasangannya.

Awalnya, saya cuma nyimak. Tapi, ada yang bikin tertarik. Ternyata, di antara teman-temanku itu, ada dua orang yang pernah coba bantu dengan cara yang mirip. Mereka bilang, kadang berhasil, tapi cuma sebentar. Setelah itu, masalahnya balik lagi. Karena saya juga diminta saran, akhirnya terlibat 😅

Dari cerita mereka, saya jadi mikir. Ada rasa yang bisa datang karena "dibantu". Mungkin lewat mantra, ritual, atau apa pun namanya. Rasa ini kayak cahaya lampu yang kita nyalakan. Awalnya terang, tapi kalau lampunya dimatikan, gelap lagi. Ia bukan sumbernya, cuma pantulan.

Rasa yang seperti ini memang bisa hadir dari getaran kata, dari fokus pikiran, dan dari pengulangan yang menciptakan suasana. Indah, menenangkan, kadang menggetarkan. Tapi, ia rapuh.

Lain halnya dengan rasa yang benar-benar berasal dari hati. Rasa yang hadir tanpa dipaksa, tanpa harus dipanggil-panggil. Ia kayak fajar yang terbit setiap pagi, atau angin yang berhembus tanpa henti.

Mungkin, mantra bisa membuka pintu, membuat hati yang tertutup jadi sedikit terbuka. Tapi, cinta sejati tidak bisa dipaksa. Ia butuh lebih dari sekadar mantra. Karena pada akhirnya, rasa sejati itu datang dari sumber yang paling murni, sang Pencipta Alam Semesta.

Ada rasa yang lahir dari mantra.

Ia datang dari getaran kata, dari fokus pikiran, dari pengulangan yang menghadirkan suasana.
Indah, menenangkan, kadang menggetarkan.
Namun ia seperti cahaya bulan, memantulkan, tidak menyinari dirinya sendiri.

Lalu ada rasa yang lahir dari Penciptaan Alam Semesta.

Ia hadir tanpa dipanggil, tanpa dipaksa.
Seperti fajar yang tiba setiap pagi, seperti angin yang berhembus tanpa henti.
Rasa ini bukan pantulan, tapi sumber.
Bukan buatan, tapi anugerah.
Mantra bisa membuka pintu.
Tetapi rasa sejati tetap berasal dari Dia, Sang Pemilik Segala Rasa.

Sebuah Refleksi

Mungkin, inti dari semua cerita ini bukanlah tentang seberapa kuat mantra bekerja, melainkan tentang seberapa dalam kita memahami makna sebuah "rasa". Terkadang, kita begitu sibuk mencoba mengendalikan perasaan orang lain, sampai lupa bahwa perasaan sejati itu adalah anugerah, bukan sesuatu yang bisa kita produksi atau paksa.

Dalam perjalanannya mencari solusi, teman kita bahkan sudah berani melangkah sejauh ke pengadilan agama untuk mengajukan gugatan cerai. Ini menunjukkan betapa beratnya dilema yang ia hadapi. Namun, ada nasihat dari teman lain yang membuatnya mengurungkan niat. Hal ini memperlihatkan betapa rumitnya sebuah pilihan saat dihadapkan pada pengaruh dari luar dan keinginan diri sendiri.

Dan mungkin, ini juga yang menjadi makna mengapa dalam agama, perceraian adalah satu-satunya hal yang dibenci, namun dibolehkan. Hal ini bukanlah tentang mana jalan yang lebih baik, tapi tentang mengakui bahwa dalam hidup, ada pilihan yang sangat sulit dan menyakitkan yang harus diambil. Dan, di balik setiap pilihan, tujuannya hanya satu, mencari kedamaian dan kebahagiaan sejati. Pada akhirnya, yang bisa menentukan langkah dan jalan mana yang akan diambil hanyalah ia yang menjalani.