Yang Bangkit Bukan Hanya Bangsa, Tapi Juga Anak Yang Terlupakan

Daftar Isi
Hari yang Biasa, Tapi Bikin Saya Diam Sejenak
Biasanya Hari Kebangkitan Nasional hanya lewat begitu saja. Upacara, postingan ucapan di media sosial, lalu selesai. Tapi kali ini, saya melihat sesuatu yang bikin saya berhenti sebentar, merenung lebih dalam.

Saya nonton channel YouTube-nya Pak Dedi Mulyadi. Di sana, ada momen yang menurut saya luar biasa, yang jadi pengibar bendera bukan anak-anak “teladan” versi sekolah atau akademik. Tapi justru mereka yang disebut “anak nakal”. Anak-anak yang pernah bermasalah. Anak-anak yang sering masuk ruang BP dan  bikin guru geleng-geleng kepala.

Tapi ajaibnya, mereka mengibarkan bendera dengan sikap sempurna. Tegap, khidmat, penuh rasa hormat. Serius, ini bukan sekadar formalitas. Kelihatan banget kalau mereka bangga.

Mungkin Mereka Enggak Nakal, Cuma Enggak Punya Tempat

Saya jadi mikir, sebenarnya kenapa sih anak-anak ini disebut nakal? Apa karena mereka punya energi yang melimpah tapi enggak tahu harus disalurkan ke mana? Atau karena mereka enggak bisa duduk diam di kelas seperti “seharusnya”? Atau... karena mereka sebenarnya cuma pengin didengar?

Kita sering lupa kalau remaja itu penuh gejolak. Fisik berubah, emosi meledak-ledak, identitas masih samar. Kalau enggak ada ruang aman untuk mengekspresikan diri, ya bisa aja mereka jadi meledak ke arah yang salah.

Dan saat akhirnya mereka dikumpulkan dalam pelatihan semi militer, bukan untuk dihukum, tapi dibimbing, mereka berubah. Disiplin. Taat aturan. Bahkan rela bangun pagi, latihan keras, dan tampil di depan banyak orang. Kalau “anak nakal” bisa begini, berarti masalahnya bukan mereka, kan?

Ternyata Mereka Cuma Butuh Diperhatikan

Bagian paling menyentuh? Ketika orang tua mereka datang, melihat anaknya mengibarkan bendera, dan... nangis. Terharu. Bangga. Saya yakin, mungkin selama ini mereka juga bingung harus bagaimana.

Tapi hari itu, mereka bisa melihat cahaya di anaknya. Bukan lagi sekadar beban, tapi harapan.
Dan ini bukan cuma saya yang merasa begitu. Pak Dedi sendiri yang memeluk anak-anak itu satu per satu setelah upacara, mengucapkan satu kalimat sederhana yang kena banget ke hati:
"Ya gimana, ini kan urusannya rasa. Urusan hati, urusan cinta. Siapa sih yang tidak terharu, orangtua bertemu anaknya saat anaknya sudah berubah."
– Dedi Mulyadi, 20 Mei 2025
Kutipan itu menjelaskan segalanya. Perubahan itu mungkin, dan perubahan itu terjadi karena rasa. Karena cinta. Bukan karena marah-marah atau cap buruk.

Jadi Siapa yang Sebenarnya Harus Berubah?

Mungkin bukan hanya anak-anak itu yang harus berubah. Mungkin kita juga. Masyarakat. Sekolah. Keluarga. Kita perlu berhenti memberi cap terlalu cepat. Perlu lebih sabar mendengar. Lebih sering memberi ruang, bukan hukuman. Karena sering kali, mereka bukan “nakal” mereka cuma belum ketemu tempat yang tepat untuk tumbuh.

Bangkit Itu Bukan Cuma untuk Bangsa, Tapi untuk Anak-anak Ini Juga

Hari Kebangkitan Nasional jadi sangat bermakna tahun ini. Karena yang bangkit bukan hanya semangat bangsa secara simbolik, tapi juga harga diri anak-anak yang selama ini tersisih. Yang dianggap masalah, kini bisa jadi kebanggaan.

Dan saya percaya, selama ada orang-orang yang peduli, seperti Pak Dedi dan banyak pegiat sosial lain di luar sana, masa depan anak-anak itu masih bisa diperjuangkan.

Penutup

Anak yang disebut nakal bukan berarti tidak punya harapan. Kadang mereka cuma butuh satu hal: diperhatikan, bukan dihakimi.
Kadang kita terlalu cepat memvonis. Tapi satu kesempatan bisa mengubah segalanya. Terutama untuk mereka yang selama ini hanya butuh satu hal: dipercaya.