Scroll Tanpa Henti, Algoritma Facebook dan Kita
Algoritma Facebook memang dibuat untuk menampilkan konten yang menarik bagi kita, dan akhirnya Scroll Tanpa Henti. 😁 Dulu, ingatkah kita saat membuka Facebook hanya untuk melihat kabar teman yang menikah, foto liburan keluarga, atau sekadar status lucu yang bikin tertawa? Sekarang... jari ini seakan terpaku di layar, mata tak berkedip menelusuri linimasa yang tak berujung. Rasanya seperti tersedot ke dalam pusaran informasi, tanpa benar-benar menyerap apa pun. Apakah ini yang dinamakan kemajuan teknologi, atau justru kita yang termakan olehnya?
Data menunjukkan, rata-rata pengguna menghabiskan waktu lebih dari dua jam sehari di media sosial, termasuk Facebook Statista. Dua jam! Waktu yang seharusnya bisa kita gunakan untuk membaca buku, berolahraga, atau sekadar berbincang dengan orang-orang terkasih. Apakah algoritma Facebook bertanggung jawab atas fenomena scroll tanpa henti ini? Mungkin iya, mungkin tidak. Tapi yang pasti, ada sesuatu yang perlu kita renungkan.
Berita Mana yang Sebenarnya Penting?
Saya seringkali merasa bersalah sendiri. Terjebak dalam perdebatan politik yang panas, membaca berita-berita negatif tentang bencana dan konflik, padahal di dunia nyata, saya dikelilingi oleh orang-orang baik yang membutuhkan perhatian saya. Meskipun algoritma Facebook bertujuan untuk menampilkan konten yang menarik bagi pengguna, relevansi konten biasanya diukur dari seberapa besar potensinya untuk memengaruhi emosi pengguna. Emosi negatif lebih mudah menarik perhatian daripada emosi positif, dan sayangnya, berita-berita negatif seringkali lebih viral.
Banyak ahli yang berpendapat bahwa algoritma Facebook memperkuat polarisasi opini dan memperburuk kesehatan mental penggunanya Pew Research Center. Kita cenderung terpapar pada informasi yang mengkonfirmasi keyakinan kita, dan menghindari informasi yang bertentangan dengannya. Hal ini menciptakan gelembung-gelembung informasi yang sempit, di mana kita semakin sulit untuk memahami perspektif orang lain.
Mungkin ada yang berkata, "Tapi saya menggunakan Facebook untuk mendapatkan informasi!" Tentu saja boleh. Tapi pertanyaannya, informasi mana yang sebenarnya penting? Apakah kita benar-benar menjadi lebih pintar setelah membaca puluhan artikel tentang topik yang sama, atau justru semakin bingung dan cemas? Scroll tanpa henti seringkali hanya membuat kita merasa seperti tahu banyak, padahal sebenarnya kita hanya tahu sedikit tentang banyak hal.
Notifikasi, Candu di Era Digital
Bunyi "ting!" dari notifikasi Facebook memang menggiurkan. Seolah ada sesuatu yang penting yang menanti untuk kita lihat. Padahal, seringkali notifikasi itu hanyalah pengingat tentang postingan lama, komentar yang tidak penting, atau iklan yang mencoba merayu kita untuk membeli sesuatu. Kita tahu itu, tapi tetap saja, jari ini refleks menyentuh ikon Facebook.
Penelitian menunjukkan bahwa notifikasi media sosial dapat memicu pelepasan dopamin di otak, zat kimia yang terkait dengan rasa senang dan adiksi Harvard University. Inilah mengapa kita merasa sulit untuk berhenti scroll tanpa henti. Kita seolah-olah kecanduan validasi dari orang lain, dari jumlah "like" dan komentar yang kita terima.
Banyak orang membela Facebook dengan mengatakan bahwa platform ini membantu mereka terhubung dengan teman dan keluarga yang jauh. Itu benar. Tapi pertanyaannya, seberapa dalam koneksi itu? Apakah kita benar-benar mengenal teman-teman kita lebih baik hanya karena kita melihat foto-foto mereka di Facebook? Atau justru kita hanya menciptakan ilusi keintiman, tanpa benar-benar berusaha untuk membangun hubungan yang bermakna? Penggunaan algoritma Facebook secara berlebihan, bisa menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh secara semu.
Mengendalikan Jari, Menguasai Pikiran
Saya tidak ingin terdengar seperti luddite yang menolak kemajuan teknologi. Facebook punya banyak manfaatnya. Namun, saya yakin kita harus lebih sadar tentang dampak algoritma Facebook pada kita. Kita perlu belajar untuk mengendalikan jari kita, agar pikiran kita tidak dikendalikan oleh linimasa yang tak berujung.
Mungkin kita bisa mulai dengan membatasi waktu yang kita habiskan di Facebook setiap hari. Atau mencoba untuk lebih selektif dalam memilih konten yang kita konsumsi. Jangan terpaku pada berita-berita negatif, tapi carilah informasi yang inspiratif, yang bisa memotivasi kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Jangan biarkan scroll tanpa henti menjadi kebiasaan yang merusak.
Ada banyak cara untuk "memutus" ketergantungan ini. Matikan notifikasi yang tidak penting. Unfollow akun-akun yang membuat kita merasa cemas atau iri. Cari hobi baru yang tidak melibatkan layar. Berbincanglah dengan orang-orang terkasih secara langsung, tanpa terganggu oleh notifikasi Facebook. Kembali ke dunia nyata.
Lebih dari Sekadar "Like": Pencarian Makna
Scroll tanpa henti di Facebook seringkali merupakan upaya kita untuk mencari makna dan koneksi dalam hidup. Kita ingin merasa dilihat, didengar, dan dihargai. Tapi validasi dari media sosial tidak akan pernah bisa menggantikan validasi dari diri sendiri. Kebahagiaan sejati tidak bisa ditemukan dalam jumlah "like" dan komentar, tapi dalam kualitas hubungan kita dengan orang lain dan dengan diri sendiri.
Mari kita gunakan Facebook dengan bijak, sebagai alat untuk terhubung dengan orang-orang yang kita cintai, untuk berbagi informasi yang bermanfaat, dan untuk menyuarakan pendapat kita. Tapi jangan biarkan algoritma Facebook mengendalikan hidup kita. Jangan biarkan scroll tanpa henti merampas waktu, perhatian, dan kebahagiaan kita. Mari kita jadikan teknologi sebagai sarana, bukan tujuan.
Bagaimana kalau kita coba bertanya pada diri sendiri: Apa yang sebenarnya saya cari ketika saya membuka Facebook? Apa yang ingin saya dapatkan? Apakah saya merasa lebih baik setelah menghabiskan waktu berjam-jam scroll tanpa henti? Jika jawabannya tidak, mungkin inilah saatnya untuk mengambil kendali kembali.