Saat Konten Hiburan Menjadi Alat Pembodohan Massal

Table of Contents

Saya ingat betul ketika masih bau kencur 😐 (saat kecil). Bagaimana televisi menjadi jendela dunia. Kami sekeluarga berkumpul, bukan hanya untuk tertawa bersama sinetron komedi, tapi juga untuk belajar tentang sejarah, budaya, dan isu-isu sosial melalui program dokumenter atau berita. Dulu, konten hiburan terasa lebih bermakna, lebih mendidik, meskipun tetap ringan dan menghibur. Sekarang, entah kenapa, rasanya jauh berbeda.😌

Data menunjukkan bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari tiga jam sehari untuk menonton televisi dan mengakses media sosial. Data Reportal 2024 melaporkan angka yang mencengangkan tentang konsumsi media digital di negara kita. Pertanyaannya, apakah waktu yang dihabiskan itu sepadan dengan manfaat yang didapatkan? Atau justru sebaliknya? Saya khawatir, kita sedang menyaksikan saat konten hiburan menjadi alat pembodohan massal yang sangat efektif.

Terjebak dalam Pusaran Sensasi Murahan

Dulu, saya mengagumi para selebriti karena bakat dan prestasi mereka. Sekarang, berita tentang mereka lebih sering berkisar pada skandal, perceraian, atau kontroversi yang dibuat-buat. Seolah-olah, popularitas hanya bisa diraih dengan menciptakan sensasi murahan. Saya merasa miris melihat banyak anak muda yang menjadikan selebriti semacam ini sebagai panutan.

Banyak pakar media yang menyoroti bagaimana algoritma media sosial turut memperparah masalah ini. Algoritma cenderung menampilkan konten yang memicu emosi, terlepas dari kualitas atau kebenarannya. Brookings Institute menjelaskan bagaimana algoritma memperkuat polarisasi dan pandangan partisan. Akibatnya, kita terjebak dalam gelembung informasi yang hanya memperkuat keyakinan kita sendiri, tanpa ruang untuk berpikir kritis. Saat konten hiburan menjadi alat pembodohan massal, salah satu penyebabnya adalah karena kita terpapar informasi yang sangat tersegmentasi dan tidak komprehensif. Beberapa mungkin berpendapat bahwa kita punya pilihan untuk memilih konten yang berkualitas. Benar, tapi kemudahan akses dan daya tarik sensasi seringkali lebih kuat.

Ketika Logika Terkalahkan oleh Emosi

Saya seringkali merasa frustrasi ketika berdiskusi dengan orang-orang yang begitu mudah percaya pada berita hoaks atau teori konspirasi. Padahal, fakta dan bukti sudah jelas terpampang di depan mata. Tapi, seolah-olah, logika sudah tidak lagi relevan. Emosi dan keyakinan pribadi lebih diutamakan.

Psikolog sosial menjelaskan bahwa manusia cenderung lebih mudah dipengaruhi oleh informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka, bahkan jika informasi tersebut tidak benar. Simply Psychology membahas tentang confirmation bias, yaitu kecenderungan untuk mencari dan menafsirkan informasi yang mendukung keyakinan yang sudah ada. Hal ini diperparah oleh konten hiburan yang seringkali mengeksploitasi emosi negatif seperti ketakutan, kemarahan, dan kebencian. Saat konten hiburan menjadi alat pembodohan massal, kita menjadi lebih rentan terhadap manipulasi dan propaganda.

Meromantisasi Kekerasan dan Ketidakadilan

Saya prihatin melihat bagaimana kekerasan dan ketidakadilan seringkali ditampilkan secara glamor dalam film, serial, atau video game. Seolah-olah, kekerasan adalah sesuatu yang keren dan ketidakadilan adalah sesuatu yang wajar. Padahal, kenyataannya, kekerasan dan ketidakadilan adalah masalah serius yang harus kita lawan.

Penelitian menunjukkan bahwa paparan terhadap kekerasan di media dapat meningkatkan agresivitas dan desensitisasi terhadap kekerasan. American Psychological Association menyoroti efek negatif paparan kekerasan media. Saat konten hiburan menjadi alat pembodohan massal, kita menjadi kurang peduli terhadap penderitaan orang lain dan lebih toleran terhadap perilaku yang tidak bermoral. Mungkin ada yang berpendapat bahwa itu hanya hiburan, dan tidak seharusnya mempengaruhi perilaku kita. Tapi, tanpa disadari, pesan-pesan yang terkandung dalam konten hiburan dapat membentuk persepsi kita tentang dunia dan mempengaruhi tindakan kita.

Hilangnya Ruang untuk Refleksi Diri

Dulu, saya seringkali menggunakan waktu luang untuk membaca buku, menulis jurnal, atau sekadar merenung tentang kehidupan. Sekarang, rasanya sulit sekali untuk menemukan waktu dan ruang untuk melakukan hal-hal tersebut. Media sosial dan konten hiburan telah menyita seluruh perhatian kita.

Para ahli mindfulness menekankan pentingnya refleksi diri untuk kesehatan mental dan kesejahteraan. Mindful.org menjelaskan manfaat mindfulness untuk mengurangi stres dan meningkatkan kesadaran diri. Saat konten hiburan menjadi alat pembodohan massal, kita kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih, mengevaluasi diri sendiri, dan membuat keputusan yang bijaksana. Kita menjadi robot yang hanya mengikuti arus, tanpa tahu arah yang sebenarnya.

Panggilan untuk Bangkit dari Ketertiduran

Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk menarik napas dalam-dalam dan bertanya pada diri sendiri: Apakah saya sudah terlalu lama terbuai oleh konten hiburan yang tidak bermutu? Apakah saya sudah menjadi bagian dari saat konten hiburan menjadi alat pembodohan massal? Apakah saya masih memiliki kemampuan untuk berpikir kritis dan membuat pilihan yang cerdas? Jawabannya ada di tangan kita masing-masing. Mari kita mulai dengan membatasi waktu yang kita habiskan untuk menonton televisi dan mengakses media sosial. Mari kita cari konten hiburan yang lebih bermakna dan mendidik. Mari kita luangkan waktu untuk membaca buku, berdiskusi dengan orang-orang yang berbeda pandangan, dan merenung tentang kehidupan. Dengan begitu, kita bisa bangkit dari ketertiduran dan menjadi agen perubahan yang positif.